Bilal bin Rabah Menyambut Ajal: Potret Cinta dan Kesetiaan Sang Muadzin kepada Rasulullah
Bilal bin Rabah Menyambut Ajal: Potret Cinta dan Kesetiaan Sang Muadzin kepada Rasulullah
20/08/2025 | Dita Aulia PutriBilal bin Rabah adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari sejarah awal Islam. Dikenal sebagai muadzin pertama umat Islam, suaranya yang lantang dan menyentuh telah menggema sejak zaman Rasulullah SAW, membawa panggilan Ilahi kepada kaum Muslimin. Namun di balik ketegarannya sebagai pelopor azan, tersimpan sebuah kisah mengharukan di ujung hayatnya—sebuah kisah cinta, rindu, dan pengabdian kepada Nabi yang dicintainya.
Tulisan ini mengulas kisah-kisah terakhir kehidupan Bilal bin Rabah, sejak wafatnya Rasulullah, masa-masa hijrahnya ke negeri Syam, hingga detik-detik perpisahannya dengan dunia. Sebuah kisah yang tak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggugah keimanan.
Luka yang Mendalam: Hari-Hari Bilal Setelah Wafatnya Sang Nabi
Wafatnya Rasulullah SAW menjadi duka mendalam bagi seluruh umat Islam, tetapi bagi Bilal, duka itu terasa sangat personal. Setiap lantunan azan mengingatkannya pada sosok yang sangat ia cintai. Saat sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Bilal selalu terisak dan tak sanggup melanjutkan. Azan yang dahulu menjadi semangat dakwah, kini berubah menjadi nyeri kerinduan yang tak tertahankan.
Tak sanggup menanggung perasaan tersebut, Bilal memilih untuk meninggalkan Madinah. Ia menuju negeri Syam (kini wilayah Suriah), mencari ketenangan hati, bukan karena lari dari tugas, melainkan sebagai bentuk penghormatan atas cinta dan kehilangan yang begitu dalam.
Di tanah perantauan, Bilal tetap menjadi pejuang Islam. Namun, malam-malamnya ia isi dengan doa dan harapan: agar segera dipertemukan kembali dengan Rasulullah SAW. Kerinduan ini, perlahan, mempersiapkan jiwanya menyambut kematian dengan tenang.
Detik-Detik Menjelang Wafat: Ketika Cinta Menjadi Pengantar Ajal
Di penghujung hidupnya, Bilal jatuh sakit. Tubuhnya melemah, tetapi imannya tetap teguh. Ia terus menyebut nama Allah dan Rasul-Nya dengan penuh kekhusyukan. Istrinya yang berada di sisinya tak kuasa menahan tangis, seraya berkata, “Wahai Bilal, betapa sedihnya hari ini.”
Namun Bilal, dalam kondisi lemah, justru menenangkan istrinya. Ia berkata lembut, “Jangan bersedih. Esok aku akan bertemu kekasihku, Muhammad dan para sahabat.”
Kalimat itu menjadi cermin ketenangan jiwa seorang mukmin sejati. Baginya, kematian bukan perpisahan, tetapi awal dari pertemuan agung dengan Nabi tercinta. Tak lama kemudian, Bilal menghembuskan napas terakhirnya dengan wajah berseri dan hati yang damai. Ia wafat di Damaskus pada tahun 20 Hijriyah, dalam usia sekitar enam puluh tahun.
Keteladanan Abadi Seorang Muadzin Penuh Iman
Wafatnya Bilal bukan sekadar akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan kelanjutan dari warisan iman yang terus hidup di hati umat. Ia tidak meninggalkan kekayaan atau jabatan, tapi meninggalkan teladan yang lebih berharga: keteguhan dalam iman, ketulusan dalam pengabdian, dan kecintaan yang murni kepada Rasulullah SAW.
Bilal mengajarkan bahwa mencintai Nabi bukan sekadar mengenang nama beliau, tetapi mewujudkannya dalam pengorbanan, kesetiaan, dan konsistensi dalam amal saleh. Ia tidak pernah mengkhianati tugasnya, meski hatinya penuh luka setelah ditinggalkan sang Nabi.
Suara azannya bukan sekadar panggilan salat—ia adalah gema cinta yang terus menggugah jiwa-jiwa yang mendengarnya. Hingga hari ini, nama Bilal tetap hidup, tidak karena ketenaran, tetapi karena keikhlasan.
Azan Perpisahan: Tangisan Madinah dan Tanda Cinta Sejati
Salah satu peristiwa paling menyentuh dalam kisah Bilal adalah ketika ia kembali ke Madinah setelah sekian lama menetap di Syam. Ketika cucu Rasulullah memohon agar Bilal mengumandangkan azan lagi, ia pun naik ke tempat biasa ia berdiri dahulu. Suara azannya kembali menggema, menggugah memori dan kerinduan yang tertanam dalam jiwa penduduk Madinah.
Namun ketika sampai pada bagian “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Bilal tak mampu melanjutkan. Suaranya tertahan oleh tangis, dan seluruh penduduk pun turut menangis. Madinah bergetar oleh kesedihan kolektif yang dalam. Azan itu menjadi azan terakhir Bilal—azan perpisahan, bukan hanya dengan Madinah, tapi juga dengan dunia.
Peristiwa itu menjadi simbol cinta yang tak lekang oleh waktu. Bahwa azan yang selama ini dikumandangkan bukan hanya untuk memanggil umat, tetapi juga sebagai ungkapan cinta kepada Sang Nabi.
Pelajaran dari Akhir Hidup Sang Muadzin Tangguh
Bilal bin Rabah telah menunjukkan bahwa ketulusan adalah warisan terbesar. Ia bukan panglima, bukan pemuka kaum, namun namanya tetap harum di seluruh penjuru dunia Islam. Bukan karena kekuasaan, tetapi karena cintanya kepada Allah dan Rasulullah.
Ia wafat dalam kesederhanaan, namun dengan hati penuh keyakinan dan ketenteraman. Dalam wafatnya, Bilal mengajarkan kita bahwa menghadapi kematian tidak harus menakutkan, asalkan kita hidup dalam keimanan dan kesetiaan kepada ajaran Islam.
Kisah Bilal adalah pengingat bahwa ukuran keberhasilan hidup bukan pada harta atau jabatan, melainkan pada keteguhan hati dan konsistensi dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Mewujudkan Cinta Sejati dalam Kehidupan Sehari-hari
Kisah akhir hayat Bilal bin Rabah bukan sekadar cerita haru ia adalah refleksi yang mengajak kita bertanya: sejauh mana cinta kita kepada Rasulullah SAW? Apakah kita siap meninggalkan dunia dengan wajah bersinar seperti Bilal?
Semoga kita semua mampu meneladani keimanan dan cinta Bilal, agar kelak kita pun dapat menyambut kematian bukan dengan takut, melainkan dengan harapan untuk bertemu Sang Kekasih di akhirat. Sebab bagi orang-orang yang hidup dalam iman dan cinta, kematian bukanlah akhir—melainkan awal dari keabadian bersama Allah dan Rasul-Nya.
