Gerakan Islam Hijau: Ketika Nilai Keislaman Bertemu Kepedulian Lingkungan
24/10/2025 | Penulis: Admin Bidang 1
Gerakan Islam Hijau: Ketika Nilai Keislaman Bertemu Kepedulian Lingkungan
Bumi yang kita pijak semakin tua. Pemanasan global, banjir, kekeringan, dan pencemaran udara kini bukan sekadar berita tapi kenyataan yang dirasakan manusia setiap hari. Alam yang dulu meneduhkan kini mulai murung, dan langit yang dulu biru sering kali tertutup polusi.
Namun di tengah krisis ekologis ini, lahir kesadaran baru di kalangan umat Islam: menjaga bumi bukan hanya tugas aktivis lingkungan, tapi juga bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Inilah yang dikenal sebagai Gerakan Islam Hijau (Green Islam Movement), sebuah gerakan moral dan spiritual yang menghidupkan kembali nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam melestarikan bumi.
Gerakan Islam Hijau mulai mencuat sejak awal tahun 2000-an. Para cendekiawan Muslim dari Timur Tengah, Eropa, dan Asia Tenggara menyuarakan bahwa krisis lingkungan bukan hanya masalah ilmiah, tetapi juga krisis moral.
Manusia, yang seharusnya menjadi penjaga bumi, justru sering menjadi penyebab utama kerusakannya.
Al-Qur’an dengan tegas memperingatkan:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini menjadi dasar moral bagi lahirnya gerakan Islam hijau bahwa melestarikan bumi sejatinya adalah ibadah dan bentuk syukur atas ciptaan Allah SWT.
1. Khilafah: Tanggung Jawab Manusia sebagai Penjaga Bumi
Islam menempatkan manusia sebagai khalifah fil ardh pemimpin dan penjaga bumi. Tugas utama seorang khalifah bukanlah mengeksploitasi, melainkan memelihara dan memakmurkan bumi.
Allah SWT berfirman:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya.”
(QS. Hud: 61)
Menjadi khalifah berarti bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam. Setiap tindakan kita dari penggunaan air, listrik, hingga konsumsi makanan akan berdampak pada lingkungan. Dalam pandangan Islam, bahkan tindakan sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan adalah bagian dari menjalankan amanah kekhalifahan itu.
2. Amanah: Tanggung Jawab Moral dan Spiritual
Alam semesta adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Air, udara, tanah, dan hutan adalah titipan dari Allah SWT yang harus dijaga.
Ketika manusia mencemari sungai, menebang pohon sembarangan, atau merusak tanah demi keuntungan sesaat, maka itu sama dengan mengkhianati amanah Ilahi.
Dalam Islam, pengkhianatan terhadap amanah bukan dosa kecil, tetapi bentuk ketidakjujuran kepada Sang Pemberi kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menjaga bumi berarti menjalankan tanggung jawab spiritual sebuah ibadah yang menunjukkan kesadaran bahwa manusia hidup berdampingan dengan ciptaan Allah lainnya.
3. Mizan: Menjaga Keseimbangan Alam
Alam diciptakan dengan keseimbangan yang sempurna.
Gunung menjaga kestabilan bumi, air menghidupi tumbuhan, dan udara menyeimbangkan kehidupan. Tetapi ketika manusia bertindak serakah, keseimbangan itu rusak muncul perubahan iklim, polusi, dan bencana alam.
Allah SWT berfirman:
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu.”
(QS. Ar-Rahman: 7–8)
Gerakan Islam Hijau menekankan pentingnya mizan atau keseimbangan ini. Dengan hidup hemat energi, tidak berlebihan dalam konsumsi, dan menghargai alam, umat Islam ikut menjaga harmoni ciptaan Tuhan.
4. Ekoteologi Islam: Suara Ulama dan Pesantren
Para ulama kontemporer seperti Prof. Seyyed Hossein Nasr dan Dr. Ibrahim Özdemir menekankan pentingnya ekoteologi Islam pandangan bahwa menjaga alam adalah bagian dari teologi Islam itu sendiri.
Mereka menilai, kerusakan alam terjadi karena manusia memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai spiritual.
Di Indonesia, kesadaran ini mulai tumbuh di pesantren-pesantren. Misalnya, Pesantren Ath-Thariq di Garut dan Pondok Pesantren An-Nur di Yogyakarta telah mengembangkan program Fiqh al-Biah (fikih lingkungan).
Para santri belajar menanam pohon, mengelola sampah, dan memahami konsep kebersihan dalam Islam bukan sekadar kebiasaan, tapi ibadah.
Pesantren dan masjid kini tak hanya tempat menuntut ilmu agama, tapi juga menjadi pusat edukasi ekologis yang menyatukan spiritualitas dan aksi nyata.
5. Gerakan Islam Hijau di Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar dalam menggerakkan kesadaran ekologis berbasis Islam.
Beberapa inisiatif yang telah berjalan di berbagai daerah antara lain:
-
Masjid Ramah Lingkungan, seperti Masjid Al-Irsyad Bandung dan Masjid Jogokariyan Yogyakarta, yang menggunakan panel surya dan sistem daur ulang air wudhu.
-
Program EcoSantri dari Kementerian Agama, yang menanamkan nilai-nilai kepedulian lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
-
Gerakan Pesantren Hijau, yang mendorong kemandirian pangan dan energi di lingkungan pesantren.
Langkah-langkah ini membuktikan bahwa Islam bukan hanya tentang ibadah ritual, tapi juga pedoman moral dalam menjaga bumi.
6. Dalil dan Nilai Spiritual di Balik Gerakan Hijau
Rasulullah SAW telah memberikan teladan luar biasa dalam kepedulian terhadap lingkungan.
Beliau bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu sebagian dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan di saat genting, beliau tetap mengajarkan pentingnya menanam pohon:
“Jika kiamat datang sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada benih kurma, maka tanamlah.”
(HR. Ahmad)
Hadis ini menggambarkan bahwa menjaga dan melestarikan alam adalah bagian dari keimanan. Dalam Islam, ibadah bukan hanya di masjid, tetapi juga melalui tindakan nyata seperti menanam, menghemat air, dan menjaga kebersihan.
7. Tantangan dan Jalan ke Depan
Gerakan Islam Hijau menghadapi berbagai tantangan. Masih banyak umat yang belum memahami bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari akhlak Islam. Gaya hidup konsumtif, penggunaan plastik berlebihan, serta minimnya pendidikan ekologis di lembaga agama menjadi hambatan nyata.
Namun harapan tetap besar. Jika nilai-nilai Islam hijau terus disebarkan melalui dakwah, pendidikan, dan keteladanan, maka kesadaran ekologis akan tumbuh menjadi budaya baru di tengah umat Muslim.
Masjid bisa menjadi pusat peradaban hijau, zakat dan wakaf bisa menjadi sumber dana untuk proyek lingkungan, dan para santri bisa menjadi pelopor perubahan menuju bumi yang lebih lestari.
8. Keteladanan Rasulullah dalam Hidup Ramah Lingkungan
Rasulullah SAW menjalani kehidupan yang sederhana dan penuh keseimbangan. Beliau makan secukupnya, berpakaian sederhana, dan melarang umatnya berlebihan dalam menggunakan sumber daya.
Beliau bersabda:
“Janganlah berlebih-lebihan dalam menggunakan air, sekalipun kamu berada di sungai yang mengalir.”
(HR. Ahmad)
Kesederhanaan ini bukan sekadar gaya hidup, tapi cerminan dari kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta.
Dari sini kita belajar bahwa spiritualitas sejati tidak bisa dipisahkan dari kepedulian terhadap alam.
Gerakan Islam Hijau adalah bentuk kebangkitan kesadaran spiritual umat Islam terhadap tanggung jawab ekologis. Ia mengajarkan bahwa mencintai Allah berarti juga mencintai ciptaan-Nya.
Islam tidak hanya mengajarkan cara beribadah kepada Sang Pencipta, tetapi juga bagaimana menghormati ciptaan-Nya bumi, air, tumbuhan, dan hewan.
Setiap langkah kecil seperti menghemat listrik, menanam pohon, dan tidak membuang sampah sembarangan adalah bentuk ibadah yang membawa keberkahan.
“Dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”
(QS. Al-Baqarah: 245)
Mari bersama menjadikan bumi ini tempat yang lebih baik bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk generasi mendatang.
Mari ikut ambil bagian dalam menghadirkan lebih banyak senyum dan harapan. Tunaikan zakat, infak, dan sedekah Anda melalui BAZNAS Kota Yogyakarta:
https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat
#MariMemberi#ZakatInfakSedekah#BAZNASYogyakarta#BahagianyaMustahiq#TentramnyaMuzaki#AmanahProfesionalTransparan
Artikel Lainnya
Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Moral: Makna Hari Santri bagi Generasi Kini
Menjemput Berkah Akhir Tahun dengan Muhasabah Diri: Waktu Tepat untuk Kembali kepada Allah
10 Dzulhijjah: Hari Raya Idul Adha dan Makna Kurban yang Mendalam
Hikmah Puasa Sunnah: Membangun Kesabaran dan Keikhlasan
7 Hikmah Berdoa dengan Khusyu’: Mendekatkan Hati ke Allah
Doa Puasa Dzulhijjah: Lafal Latin dan Artinya yang Bisa Diamalkan Setiap Hari

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS

