Etika Bermedia Sosial dalam Islam: Bijak Berkata di Dunia Digital
07/10/2025 | Penulis: Admin bidang 1
Etika Bermedia Sosial dalam Islam: Bijak Berkata di Dunia Digital
Di era serba digital seperti sekarang, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir setiap hari, kita membuka aplikasi seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), atau WhatsApp untuk berinteraksi, mencari informasi, hingga mengekspresikan diri. Dunia maya memang memudahkan komunikasi, tapi di sisi lain juga membuka peluang bagi munculnya berbagai perilaku negatif mulai dari ujaran kebencian, fitnah, ghibah, hingga penyebaran hoaks.
Sebagai umat Islam, kita tentu tidak bisa memandang hal ini sekadar “urusan dunia maya”. Karena dalam pandangan Islam, setiap kata, tulisan, dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban, baik yang dilakukan secara langsung maupun lewat jari di layar ponsel. Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Prinsip sederhana ini menjadi dasar penting dalam beretika di dunia digital. Maka, sebelum mengetik dan membagikan sesuatu di media sosial, setiap muslim sebaiknya bertanya pada dirinya: apakah yang saya tulis akan membawa manfaat atau justru menimbulkan mudarat?
1. Menjaga Niat dalam Bermedia Sosial
Setiap tindakan seorang muslim hendaknya diawali dengan niat yang baik. Dalam konteks media sosial, niat itu bisa berupa berbagi ilmu, menyebarkan kebaikan, atau menjalin silaturahmi. Namun, realitanya, banyak orang menggunakan media sosial untuk mencari pengakuan, popularitas, atau bahkan menjelekkan orang lain.
Islam mengajarkan bahwa nilai amal seseorang tergantung pada niatnya. Bila niat kita tulus karena Allah, maka aktivitas sederhana seperti membagikan kutipan inspiratif pun bisa bernilai ibadah. Tapi jika niatnya sekadar mencari perhatian, maka perbuatan itu kehilangan nilainya di sisi Allah.
Dalam dunia digital, menjaga niat berarti menggunakan media sosial secara bijak bukan untuk memamerkan diri, mengejar validasi, atau mengomentari hidup orang lain.
2. Mengendalikan Emosi dan Menjaga Lisan Digital
Salah satu tantangan besar di media sosial adalah mengendalikan emosi. Tidak jarang seseorang terpancing untuk menulis komentar pedas atau membalas hujatan dengan kemarahan. Padahal, kata-kata di dunia maya memiliki dampak besar bisa menyakiti, menimbulkan konflik, atau bahkan merusak hubungan baik.
Mengendalikan diri di dunia digital adalah bentuk kedewasaan dan cerminan akhlak. Jika melihat hal yang tidak disukai, sebaiknya diam atau menanggapinya dengan cara yang sopan. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Orang kuat bukanlah yang menang dalam perkelahian, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks media sosial, kekuatan itu tampak dari cara seseorang menahan diri untuk tidak ikut berdebat, tidak mudah tersinggung, dan tidak membalas hinaan dengan kebencian. Karena setiap tulisan yang keluar dari jari kita pada dasarnya adalah cerminan hati dan akhlak.
3. Menyebarkan Informasi dengan Sikap Tabayyun
Salah satu penyebab utama maraknya berita palsu di dunia maya adalah karena banyak orang menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya. Dalam Islam, perilaku seperti ini sangat dilarang. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya”
(QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menegaskan pentingnya tabayyun atau klarifikasi. Sebelum membagikan informasi, pastikan sumbernya jelas dan dapat dipercaya. Jangan hanya karena informasi itu menarik, sesuai dengan perasaan kita, atau sedang viral, lalu langsung dibagikan tanpa pikir panjang.
Sikap hati-hati dalam menyebarkan berita menunjukkan kematangan iman dan akal. Selain menghindarkan kita dari dosa fitnah, hal itu juga menjaga keharmonisan sosial dan mencegah konflik di masyarakat.
4. Menghindari Ghibah dan Fitnah di Dunia Maya
Media sosial sering kali menjadi tempat seseorang meluapkan emosi, mengomentari kehidupan orang lain, atau membicarakan kekurangan seseorang secara terbuka. Padahal, tindakan semacam ini termasuk dalam kategori ghibah (menggunjing) dan fitnah (menyebar kebohongan).
Islam memandang ghibah sebagai dosa besar. Rasulullah SAW menggambarkan bahwa ghibah itu seperti memakan daging saudara sendiri yang sudah mati (HR. Muslim). Analogi itu menunjukkan betapa menjijikkan dan berbahayanya perilaku tersebut.
Di dunia digital, ghibah tidak hanya lewat kata-kata, tapi juga bisa melalui komentar, unggahan, atau bahkan meme yang merendahkan seseorang. Maka dari itu, bijaklah sebelum mengetik. Jika yang kita tulis tidak menambah manfaat, lebih baik diam.
5. Menjaga Privasi Diri dan Orang Lain
Salah satu bentuk etika digital yang sering diabaikan adalah menjaga privasi. Banyak orang dengan mudah membagikan aktivitas pribadinya, lokasi terkini, atau bahkan urusan keluarga di media sosial. Padahal, terlalu banyak membuka hal pribadi bisa menimbulkan risiko, mulai dari pencurian data hingga penilaian buruk dari orang lain.
Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan privasi seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkan dia disakiti.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menjaga privasi juga berarti tidak menyebarkan foto, video, atau cerita orang lain tanpa izin. Etika sederhana seperti meminta izin sebelum mengunggah foto bersama atau menyebut nama seseorang sudah menjadi bentuk penghormatan terhadap hak privasi.
6. Menggunakan Media Sosial sebagai Sarana Dakwah dan Kebaikan
Media sosial bisa menjadi ladang pahala bila digunakan untuk hal-hal positif. Banyak cara sederhana untuk berdakwah di dunia maya seperti membagikan kutipan motivasi Islami, cerita inspiratif, atau konten edukatif tentang zakat, sedekah, dan amal.
Namun, berdakwah di media sosial bukan berarti memaksakan pendapat atau merasa paling benar. Dakwah yang baik dilakukan dengan bahasa yang santun, menyentuh hati, dan tidak menyinggung pihak lain. Allah SWT berfirman,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”
(QS. An-Nahl: 125)
Artinya, kita bisa berdakwah lewat konten ringan yang bermanfaat seperti tulisan, video pendek, atau infografis selama pesan yang disampaikan membawa nilai kebaikan.
7. Bijak Menggunakan Waktu di Media Sosial
Selain menjaga sikap dan ucapan, seorang muslim juga harus bijak mengatur waktu dalam menggunakan media sosial. Banyak orang tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menelusuri timeline, padahal tidak semua konten membawa manfaat.
Waktu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Dalam QS. Al-‘Asr, Allah menegaskan bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Gunakan media sosial secukupnya. Bila terlalu banyak waktu tersita untuk hal yang tidak berguna, bisa jadi kita kehilangan fokus terhadap hal-hal yang lebih penting seperti ibadah, belajar, atau membantu sesama.
8. Menjadikan Media Sosial Sebagai Cermin Akhlak
Media sosial sebenarnya adalah cermin kepribadian seseorang. Dari cara kita berkomentar, menulis caption, hingga memilih konten yang dibagikan, orang lain bisa menilai karakter dan nilai-nilai yang kita pegang.
Karenanya, penting bagi setiap muslim untuk menjadikan media sosial sebagai tempat mencerminkan akhlak baik sopan dalam berbahasa, santun dalam berdiskusi, dan rendah hati dalam berinteraksi.
Rasulullah SAW dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut dan penyayang, bahkan kepada orang yang tidak menyukainya. Sikap itulah yang seharusnya menjadi contoh bagi kita semua dalam bersikap, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
9. Kesadaran akan Jejak Digital
Segala sesuatu yang kita unggah di internet akan meninggalkan jejak digital, dan bisa diakses oleh banyak orang untuk waktu yang lama. Karena itu, setiap postingan hendaknya dipikirkan matang-matang sebelum dibagikan.
Jejak digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal moral. Jika kita menyebarkan hal baik, itu bisa menjadi amal jariyah namun jika yang disebarkan keburukan, maka dosa itu bisa terus mengalir.
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzalah: 7–8)
Etika bermedia sosial dalam Islam bukan hanya tentang sopan santun berkomentar, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga hati, pikiran, dan niat dalam berinteraksi di dunia maya. Dunia digital memberikan kebebasan, tapi kebebasan itu harus disertai tanggung jawab moral dan spiritual.
Menjadi pengguna media sosial yang beretika berarti menjadi pribadi yang sadar bahwa setiap jari yang mengetik adalah bagian dari amanah. Maka, gunakanlah media sosial untuk memperluas kebaikan, mempererat ukhuwah, dan memberikan manfaat bagi sesama.
Mari ikut ambil bagian dalam menghadirkan lebih banyak senyum dan harapan. Tunaikan zakat, infak, dan sedekah Anda melalui BAZNAS Kota Yogyakarta:
https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat
#MariMemberi#ZakatInfakSedekah#BAZNASYogyakarta#BahagianyaMustahiq#TentramnyaMuzaki#AmanahProfesionalTransparan
Artikel Lainnya
Pentingnya Khusyuk dalam Shalat: Menemukan Kedamaian Hati di Hadapan Allah
Cara Sabar dan Ikhlas Menghadapi Masalah Berat Menurut Islam
Ikhlas Beramal dalam Kehidupan Sehari-hari: 9 Contoh Nyata
Amal yang Diterima Hanya Ikhlas: Inilah Penjelasan Ulama
Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas Sabar dan Pemaaf: 5 Rahasia Hatinya Tenang
Hikmah Gerakan Shalat bagi Kesehatan: Menyelaraskan Ibadah dan Kesejahteraan Tubuh

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS

