Zakat dan Pajak Perusahaan dalam Perspektif Syariah: Integrasi, Perbedaan, dan Hukum Mangkir
02/10/2025 | Penulis: Admin bidang 1
Zakat dan Pajak Perusahaan dalam Perspektif Syariah: Integrasi, Perbedaan, dan Hukum Mangkir
a. Penerapan Zakat dan Pajak Perusahaan
Pertanyaan:
Tentunya, perusahaan diwajibkan untuk membayar pajak keuntungan perdagangan dan industri. Apakah pajak ini dapat dianggap menggantikan zakat?
Jawaban:
Seringkali, kewajiban zakat telah menjadi salah satu kewajiban yang terlupakan di dalam Islam. Khususnya setelah diterapkannya paham-paham sekulerisme (yang mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan). Juga setelah diterapkannya peraturan pajak dalam hukum positif di sebagian besar negeri islam. Sehingga para pemimpin berlepas diri dari kewajibannya untuk menarik zakat.
Belakangan ini, sebagian besar umat muslim sibuk dengan perkara pajak karena takut dihukum karena kejahatan penyelewengan pajak. Namun mereka lupa akan hak Allah di dalam harta dan sesiapa yang menolak untuk menunaikannya adalah haram.
Seharusnya penerapan kontemporer untuk zakat harus menjadi perhatian umat. Betapa pun besarnya tantangannya, karena hal ini bersentuhan langsung dengan akidah, syariat, masyarakat, dan umat Islam itu sendiri.
Salah satu permasalahan kontemporer terpenting yang dihadapi dalam penerapan zakat adalah diterapkannya aturan pajak dalam hukum positif.
Para fuqaha telah berfatwa tentang integrasi dan harmonisasi antara keduanya, sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip syariat Islam. Diantaranya ada yang memandang bahwa “Tidak ada masalah dalam menerapkan pajak di samping aturan zakat, karena masing-masing memiliki sumber dan pos-pos penyalurannya tersendiri.”
Ada pula yang memandang bahwa hukum asalnya adalah penerapan aturan zakat. Jika hasilnya tidak mencukup, maka pajak diwajibkan atas orang-orang kaya dengan batasan-batasan syariat, sebagaimana pajak diwajibkan atas orang-orang non muslim.
Pendapat rajih mengatakan: “Sesungguhnya pajak yang diwajibkan untuk kemaslahatan negara tidak menyebabkannya terbebas dari kewajiban dalam menunaikan zakat.”
Hal yang harus ditekankan di sini adalah bahwa pajak tidak membebaskan dari zakat. Dan keduanya tidak sama. Maka solusinya adalah harta yang digunakan untuk membayar pajak, menjadi pengurang harta wajib zakat.
Contoh ilustratif dalam angka:
Pajak yang telah dibayarkan selama masa haul secara otomatis mengurangi takaran zakat, karena akan mengurangi uang tunai.
Di sisi lain, sesungguhnya pajak yang wajib dikeluarkan kepada negara termasuk ke dalam liabilitas yang harus dibayarkan, dan wajib dikurangi dari harta zakat. Jika diasumsikan sebagai berikut:
Total harta zakat 800,000 USD
Dikurangi: liabilitas yang harus dibayar 200,000
Hutang berjalan 100,000
Pengeluaran yang harus dikeluarkan 50,000
Yang dikhususkan untuk pajak 150,000
Takaran zakat setelah dikurangi dana yang dikhususkan untuk pajak: 300,000 USD
b. Perusahaan Mangkin Bayar Pajak
Apakah dibolehkan di dalam syariat untuk mangkir dari pajak yang diwajibkan oleh negara dengan alasan telah menunaikan zakat. Khususnya karena adanya keyakinan umum bahwa pajak adalah aturan buatan manusia dan termasuk pungutan yang zhalim.
Jawaban:
Banyak orang yang mangkir membayar pajak, dan yang sejenisnya dengan satu cara atau dengan cara lainnya. Alasan mereka adalah: pajak adalah aturan buatan manusia, dan pajak itu zhalim bahkan sebagiannya digunakan untuk sesuatu yang tidak benar.
Para fuqaha islam kontemporer telah membahas masalah ini secara rinci, dan mereka sampai kepada beberapa keputusan dan fatwa, antaranya:
1. Seorang penguasa boleh menetapkan pajak atas harta orang-orang kaya, dengan batasan-batasan wajar untuk digunakan pada layanan-layanan umum yang tidak termasuk dalam pos-pos penyaluran zakat, seperti: keamanan, pendidikan, fasilitas umum, dan lainnya yang dianggap sebagai kebutuhan primer bagi manusia.
2. Pajak harus diwajibkan dengan cara yang benar, didapatkan dengan cara yang benar, dan disalurkan dengan benar.
3. Wajib menghindari penetapan pajak yang zhalim, karena itu termasuk pungutan yang diharamkan oleh syariat islam, didefinisikan oleh Yusuf Al-Qaradhawi: bahwa ia adalah harta yang diambil tanpa hak, disalurkan dengan cara yang tidak benar, dan bebannya tidak dibagikan secara adil. Hasilnya juga lebih banyak dinikmati oleh para penguasa dan raja-raja.
4. Dalam penetapan kewajiban pajak dan cukai tidak boleh ada hal-hal yang menyelisihi hukum-hukum, prinsip-prinsip dan tujuan syariat islam, yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Mari ikut ambil bagian dalam menghadirkan lebih banyak senyum dan harapan. Tunaikan zakat, infak, dan sedekah Anda melalui BAZNAS Kota Yogyakarta:
https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat
#MariMemberi#ZakatInfakSedekah#BAZNASYogyakarta#BahagianyaMustahiq#TentramnyaMuzaki#AmanahProfesionalTransparan
Artikel Lainnya
Amal yang Diterima Hanya Ikhlas: Inilah Penjelasan Ulama
Shalat Sebagai Media Komunikasi Hamba dengan Allah: Menyapa Sang Pencipta di Setiap Sujud
Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas Sabar dan Pemaaf: 5 Rahasia Hatinya Tenang
Infak untuk Palestina: Wujud Kepedulian dan Persaudaraan Umat Islam
Pentingnya Ikhlas dalam Beramal: Inilah Syarat Amal Diterima
Keutamaan dan Makna Infak: Menebar Kebaikan, Menyucikan Harta

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS

