Berita Terbaru
Fidyah dan Tanggung Jawab Sosial: Menyokong Anak Yatim dan Kaum Duafa di Tengah Kesulitan
Fidyah, sebagai bentuk kompensasi bagi mereka yang tidak dapat berpuasa, memiliki dimensi sosial yang penting dalam mendukung anak yatim dan kaum duafa.
Dalam Islam, fidyah bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosial umat.
Dengan membayar fidyah, individu tidak hanya memenuhi syarat agama, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Di banyak negara Muslim, fidyah sering kali disalurkan kepada lembaga amal yang fokus pada bantuan untuk anak yatim dan kaum duafa.
Misalnya, di Indonesia, fidyah dapat berupa beras atau uang yang digunakan untuk menyediakan makanan dan kebutuhan dasar bagi mereka yang kurang mampu.
Hal ini menciptakan jaringan solidaritas yang kuat dalam masyarakat.
Praktik ini juga mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian yang diajarkan dalam Islam.
Dengan menyokong anak yatim dan kaum duafa melalui fidyah, umat Islam berperan aktif dalam mengurangi kesenjangan sosial dan memberikan harapan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.
Sumber:
1. Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Zakat. Dar al-Qalam, 1999.
2. Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.
3. Rahman, Fazlur. Islam. University of Chicago Press, 1979.
Penulis: Aulia Anastasya Putri Permana
Editor: M. Kausari Kaidani
BERITA21/03/2025 | Aulia Anastasya Putri Permana
Dampak Fidyah terhadap Industri Kemanusiaan: Mendorong Inovasi dalam Pengelolaan Sumber Daya
Fidyah, sebagai bentuk kompensasi bagi mereka yang tidak dapat berpuasa, memiliki dampak signifikan terhadap industri kemanusiaan.
Dengan meningkatnya kesadaran akan tanggung jawab sosial, fidyah mendorong inovasi dalam pengelolaan sumber daya untuk membantu mereka yang membutuhkan, seperti anak yatim dan kaum duafa.
Industri kemanusiaan telah beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan fidyah secara efisien.
Misalnya, platform digital kini memungkinkan individu untuk membayar fidyah secara online, yang mempercepat proses distribusi bantuan.
Inovasi ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memastikan bahwa bantuan sampai kepada yang berhak dengan lebih cepat.
Selain itu, fidyah juga mendorong kolaborasi antara lembaga amal dan sektor swasta.
Banyak perusahaan kini berinvestasi dalam program tanggung jawab sosial yang berfokus pada pengelolaan fidyah, menciptakan model bisnis yang berkelanjutan.
Dengan demikian, fidyah tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban agama, tetapi juga sebagai pendorong inovasi dalam industri kemanusiaan.
Sumber:
1. Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Zakat. Dar al-Qalam, 1999.
2. Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.
3. Rahman, Fazlur. Islam. University of Chicago Press, 1979.
4. Zakat Foundation of America. "The Role of Technology in Humanitarian Aid." 2021.
Penulis: Aulia Anastasya Putri Permana
Editor: M. Kausari Kaidani
BERITA21/03/2025 | Aulia Anastasya Putri Permana
Manfaat Fidyah: Membangun Kesejahteraan Pribadi Melalui Tindakan Kedermawanan
Fidyah, sebagai bentuk kompensasi bagi mereka yang tidak dapat berpuasa, tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga memberikan manfaat signifikan bagi kesejahteraan pribadi.
Dengan membayar fidyah, individu berpartisipasi dalam tindakan kedermawanan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri.
Salah satu manfaat utama fidyah adalah peningkatan rasa empati dan kepedulian sosial.
Ketika seseorang memberikan fidyah, mereka berkontribusi pada kesejahteraan orang lain, terutama anak yatim dan kaum duafa.
Tindakan ini dapat memperkuat hubungan sosial dan menciptakan jaringan dukungan yang saling menguntungkan.
Selain itu, fidyah juga dapat berfungsi sebagai alat pengelolaan keuangan.
Dengan merencanakan pembayaran fidyah, individu belajar untuk mengatur anggaran dan memprioritaskan kebutuhan sosial.
Hal ini dapat meningkatkan kesadaran finansial dan membantu dalam pengelolaan sumber daya secara lebih efektif.
Secara keseluruhan, fidyah bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga merupakan investasi dalam kebaikan yang dapat membawa dampak positif bagi kesejahteraan pribadi dan masyarakat.
Sumber:
1. Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Zakat. Dar al-Qalam, 1999.
2. Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society, 2003.
3. Rahman, Fazlur. Islam. University of Chicago Press, 1979.
4. Zakat Foundation of America. "The Impact of Charity on Personal Well-Being." 2021.
Penulis: Aulia Anastasya Putri Permana
Editor: M. Kausari Kaidani
BERITA21/03/2025 | Aulia Anastasya Putri Permana
Fidyah dalam Islam: Pentingnya Membayar Sebelum Bulan Suci Berakhir
Fidyah adalah bentuk kompensasi yang diwajibkan bagi umat Islam yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena alasan tertentu, seperti sakit atau perjalanan jauh.
Dalam konteks ini, fidyah berfungsi sebagai pengganti puasa yang tidak dapat dilaksanakan.
Pembayaran fidyah biasanya berupa makanan pokok atau uang yang setara dengan nilai makanan tersebut.
Pentingnya membayar fidyah sebelum akhir bulan Ramadhan tidak bisa diabaikan.
Pertama, fidyah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi agar seseorang tetap dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik.
Dengan membayar fidyah, seorang Muslim menunjukkan kepatuhan terhadap syariat dan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan.
Kedua, membayar fidyah sebelum Ramadhan berakhir memberikan kesempatan bagi penerima untuk merasakan manfaat dari makanan yang diberikan, terutama di bulan yang penuh berkah ini.
Hal ini juga mencerminkan semangat berbagi dan solidaritas dalam komunitas Muslim.
Akhirnya, membayar fidyah tepat waktu membantu menjaga kesucian bulan Ramadhan dan memastikan bahwa setiap individu dapat menyelesaikan ibadah dengan baik.
Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menyelesaikan pembayaran fidyah sebelum bulan suci berakhir.
Sumber:
1. Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah (2:184-185).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW tentang fidyah dan puasa.
3. Buku "Fidyah dan Kewajiban Puasa" oleh Dr. Ahmad Zainuddin.
Penulis: Aulia Anastasya Putri Permana
Editor: M. Kausari Kaidani
BERITA21/03/2025 | Aulia Anastasya Putri Permana
Tantangan dalam Pelaksanaan Fidyah di Era Modern
Tantangan dalam Pelaksanaan Fidyah di Era Modern
Ketidaktahuan MasyarakatBanyak umat Islam yang masih belum memahami tata cara pembayaran fidyah sesuai syariat. Hal ini menyebabkan ketidaktepatan dalam pelaksanaannya.
Ketersediaan Mustahik (Penerima Fidyah)Di beberapa daerah, sulit menemukan mustahik yang memenuhi kriteria, sehingga distribusi fidyah menjadi tantangan tersendiri.
Metode PembayaranSeiring perkembangan teknologi, banyak lembaga menawarkan pembayaran fidyah secara online. Namun, keabsahan dan transparansi dalam penyaluran sering menjadi pertanyaan.
Konversi Fidyah dalam Bentuk UangIslam menetapkan bahwa fidyah diberikan dalam bentuk makanan, tetapi dalam praktik modern, banyak yang membayar dalam bentuk uang. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
Solusi untuk Menyikapi Tantangan Fidyah
Sosialisasi dan EdukasiLembaga keagamaan dan pemerintah perlu meningkatkan edukasi tentang fidyah melalui berbagai platform, termasuk media sosial.
Optimalisasi Peran Lembaga ZakatLembaga zakat dapat menjadi perantara dalam penyaluran fidyah, sehingga distribusi lebih tepat sasaran dan sesuai syariat.
Pemanfaatan TeknologiPenggunaan aplikasi atau platform digital dapat membantu umat Islam membayar fidyah dengan lebih mudah dan akurat.
Fatwa dan Regulasi yang JelasPerlu adanya fatwa yang menegaskan hukum fidyah dalam bentuk uang, sehingga umat Islam memiliki pedoman yang jelas.
Kesimpulan
Fidyah merupakan solusi bagi mereka yang tidak mampu berpuasa, namun pelaksanaannya di era modern menghadapi berbagai tantangan. Dengan edukasi, pemanfaatan teknologi, dan regulasi yang jelas, umat Islam dapat menunaikan fidyah dengan lebih tepat dan efisien. Dengan demikian, nilai-nilai kebaikan dalam fidyah dapat terus terjaga dan memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Apakah Fidyah Bisa Diganti dengan Amal Lain?
Apakah Fidyah Bisa Diganti dengan Amal Lain?
Sebagian orang mungkin bertanya apakah fidyah bisa digantikan dengan sedekah atau amal lainnya. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa fidyah memiliki ketentuan khusus dan tidak dapat diganti dengan amal lain, seperti wakaf, infak, atau zakat. Fidyah merupakan bentuk tanggung jawab individu terhadap kewajiban puasa yang ditinggalkan. Jika seseorang ingin melakukan amal lain, hal tersebut tentu baik, tetapi tidak dapat menggantikan fidyah yang telah diwajibkan.
Perbedaan Fidyah dan Sedekah
Meskipun fidyah dan sedekah sama-sama merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama, keduanya memiliki perbedaan mendasar:
Fidyah bersifat wajib bagi yang tidak mampu berpuasa dan memiliki ketentuan jumlah serta cara penyalurannya.
Sedekah bersifat sunnah dan tidak memiliki batasan jumlah maupun bentuk pemberian.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan syariat, fidyah tidak bisa diganti dengan amal lain. Fidyah memiliki aturan spesifik dalam bentuk makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin. Oleh karena itu, bagi yang wajib membayar fidyah, sebaiknya mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan agar ibadahnya sah dan diterima di sisi Allah.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Tips Membayar Fidyah dengan Benar Sesuai Syariat Islam
Tips Membayar Fidyah dengan Benar Sesuai Syariat Islam
Fidyah adalah kewajiban bagi seseorang yang tidak mampu berpuasa karena alasan tertentu yang diperbolehkan dalam Islam, seperti sakit kronis atau usia lanjut. Agar pembayaran fidyah sesuai dengan syariat Islam, berikut beberapa tips yang bisa diikuti:
1. Memahami Kewajiban Fidyah Fidyah wajib dibayarkan bagi orang yang tidak mampu mengganti puasa di hari lain. Besarnya fidyah adalah satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok seperti beras, yang diberikan kepada fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
2. Menentukan Besaran Fidyah dengan Tepat Sesuai dengan ketentuan syariat, jumlah fidyah yang harus dibayarkan tergantung pada jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Sebaiknya konsultasikan dengan ulama atau lembaga zakat setempat untuk memastikan jumlah yang sesuai.
3. Membayar Fidyah dalam Bentuk yang Dianjurkan Fidyah sebaiknya dibayarkan dalam bentuk makanan pokok, bukan uang. Namun, beberapa ulama membolehkan pembayaran dalam bentuk uang dengan jumlah yang setara, asalkan diberikan kepada fakir miskin.
4. Menyalurkan Fidyah kepada yang Berhak Pastikan fidyah diberikan kepada fakir miskin, bukan kepada orang yang masih mampu bekerja dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Bisa melalui lembaga amil zakat resmi agar distribusi lebih tepat sasaran.
5. Membayar Fidyah Tepat Waktu Fidyah harus dibayarkan sebelum bulan Ramadan berikutnya. Jika ditunda tanpa alasan yang syar’i, maka wajib segera dilunasi agar tidak menumpuk kewajiban.
6. Niat yang Ikhlas Saat membayar fidyah, niatkan dengan ikhlas karena Allah SWT. Niat dapat dilakukan dalam hati, tanpa harus diucapkan secara lisan.
7. Memastikan Tidak Ada Kelalaian dalam Pembayaran Jika ada kewajiban fidyah dari tahun sebelumnya yang belum dibayarkan, segera lunasi agar tidak menambah beban di kemudian hari.
Dengan mengikuti tips di atas, pembayaran fidyah dapat dilakukan dengan benar sesuai dengan syariat Islam. Hal ini tidak hanya menunaikan kewajiban, tetapi juga menjadi bentuk kepedulian terhadap fakir miskin. Pastikan fidyah yang dibayarkan tepat jumlah, tepat sasaran, dan dilakukan dengan niat yang tulus.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Fidyah dalam Perspektif Fiqih Empat Mazhab
Fidyah dalam Perspektif Fiqih Empat Mazhab
Pendahuluan
Fidyah merupakan salah satu bentuk kompensasi dalam Islam yang diberikan sebagai pengganti kewajiban tertentu yang tidak dapat ditunaikan oleh seorang Muslim. Dalam konteks puasa Ramadan, fidyah diberikan oleh mereka yang tidak mampu berpuasa karena uzur syar'i yang bersifat permanen. Keempat mazhab fiqih—Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali—memiliki pandangan masing-masing mengenai fidyah, baik dari segi besaran, bentuk, maupun cara pelaksanaannya.
Pandangan Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok setara dengan setengah sha' gandum atau satu sha' kurma atau barley. Selain itu, fidyah juga dapat diganti dengan nilai uang yang setara dengan makanan tersebut. Mazhab ini cenderung memberikan fleksibilitas dalam pembayaran fidyah, sehingga memungkinkan penerapan yang lebih mudah bagi masyarakat.
Pandangan Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa fidyah wajib diberikan dalam bentuk makanan yang layak dikonsumsi oleh fakir miskin. Besaran fidyah yang ditentukan adalah satu mud makanan pokok per hari puasa yang ditinggalkan. Mazhab ini juga menegaskan bahwa fidyah harus diberikan langsung kepada penerima yang berhak tanpa melalui bentuk uang.
Pandangan Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i memiliki ketentuan bahwa fidyah harus diberikan dalam bentuk makanan, yakni satu mud (kurang lebih 675 gram) untuk setiap hari puasa yang tidak ditunaikan. Tidak diperbolehkan mengganti fidyah dengan uang menurut mazhab ini. Selain itu, fidyah dalam mazhab Syafi'i juga harus diberikan kepada fakir miskin sebagai bentuk kepedulian sosial dalam Islam.
Pandangan Mazhab Hanbali
Dalam mazhab Hanbali, fidyah juga diwajibkan dalam bentuk makanan dengan takaran satu mud per hari puasa yang ditinggalkan. Namun, mazhab ini memberikan kelonggaran dalam bentuk penyajian makanan yang matang dan siap konsumsi kepada fakir miskin. Jika seseorang tidak mampu membayar fidyah, maka ia dianjurkan untuk meminta pertolongan kepada keluarganya atau lembaga amal.
Kesimpulan
Fidyah dalam perspektif fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam besaran dan bentuk pembayarannya. Mazhab Hanafi lebih fleksibel dengan membolehkan fidyah dalam bentuk uang, sementara Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali lebih menekankan pembayaran dalam bentuk makanan. Meskipun terdapat perbedaan, tujuan utama fidyah tetaplah sebagai bentuk keringanan bagi mereka yang tidak mampu berpuasa serta sebagai bentuk kepedulian terhadap kaum dhuafa. Oleh karena itu, setiap Muslim yang terkena kewajiban fidyah dapat memilih pandangan yang paling sesuai dengan kondisi mereka, berdasarkan prinsip-prinsip kemudahan dalam Islam.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Relevansi Fidyah dengan Kehidupan Sosial
Relevansi Fidyah dengan Kehidupan Sosial
Fidyah memiliki peran penting dalam membangun kesejahteraan sosial, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi lemah. Berikut adalah beberapa relevansi fidyah dalam kehidupan sosial masyarakat:
Membantu Kaum DhuafaFidyah secara langsung diberikan kepada fakir miskin, sehingga dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Dalam kondisi tertentu, fidyah dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah kelaparan di masyarakat.
Meningkatkan Kesadaran SosialMembayar fidyah mengajarkan nilai kepedulian kepada sesama, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Hal ini dapat menumbuhkan empati dan meningkatkan solidaritas sosial di masyarakat.
Distribusi Kesejahteraan yang Lebih MerataDengan adanya kewajiban fidyah, terjadi redistribusi ekonomi dari golongan yang mampu kepada mereka yang membutuhkan. Ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam.
Menjaga Stabilitas SosialKetika kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi, ketimpangan sosial dapat dikurangi. Hal ini dapat membantu menciptakan kehidupan sosial yang lebih harmonis dan mengurangi potensi konflik akibat kesenjangan ekonomi.
Tantangan dalam Implementasi Fidyah
Meskipun fidyah memiliki dampak positif, masih terdapat beberapa tantangan dalam implementasinya, seperti:
Kurangnya pemahaman masyarakat tentang tata cara pembayaran fidyah yang sesuai dengan syariat.
Tidak adanya sistem pendistribusian fidyah yang terorganisir dengan baik di beberapa daerah.
Kurangnya kesadaran individu yang berkewajiban membayar fidyah sehingga masih banyak hak fakir miskin yang belum terpenuhi.
Kesimpulan
Fidyah bukan hanya sekadar ibadah individu, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Dengan pemahaman yang baik dan distribusi yang tepat, fidyah dapat menjadi instrumen penting dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dari setiap individu yang memiliki kewajiban fidyah agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat yang membutuhkan.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Ketentuan Fidyah bagi Musafir
Ketentuan Fidyah bagi Musafir
Menurut syariat Islam, seseorang yang bepergian dalam jarak tertentu yang memenuhi syarat sebagai musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Namun, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan terkait fidyah bagi musafir:
Wajib Qadha atau FidyahMusafir yang memiliki kesempatan untuk mengganti puasanya setelah Ramadan diwajibkan untuk mengqadha. Namun, jika dalam kondisi tertentu ia tidak mampu mengqadha puasa karena penyakit kronis atau faktor lainnya, maka fidyah menjadi solusinya.
Bentuk Pembayaran FidyahFidyah yang harus dibayarkan adalah memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan yang diberikan bisa berupa beras atau makanan siap santap sesuai dengan kadar yang telah ditentukan oleh ulama.
Jumlah FidyahFidyah dihitung berdasarkan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Jika seseorang tidak berpuasa selama 10 hari, maka ia harus memberikan fidyah kepada 10 orang miskin atau satu orang miskin selama 10 hari.
Kapan Musafir Harus Membayar Fidyah?
Fidyah dapat dibayarkan segera setelah Ramadan atau pada waktu lain sebelum datangnya Ramadan berikutnya. Pembayaran fidyah sebaiknya dilakukan sesegera mungkin agar tanggung jawab tersebut dapat segera terselesaikan.
Kesimpulan
Musafir mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa selama perjalanan, namun tetap memiliki kewajiban untuk menggantinya dengan qadha atau fidyah jika tidak mampu. Pembayaran fidyah merupakan bentuk keringanan yang diberikan oleh syariat Islam bagi mereka yang tidak bisa mengqadha puasa, sehingga tetap dapat menunaikan hak-hak ibadahnya sesuai kemampuan. Dengan memahami ketentuan fidyah, seorang musafir dapat tetap menjalankan ibadahnya dengan tenang dan sesuai dengan tuntunan agama.
Penulis:
Hubaib Ash Shidqi
Editor:Hubaib Ash Shidqi
BERITA21/03/2025 | HUBAIB ASH SHIDQI
Manfaat Sedekah: Kebaikan Berlipat Ganda
Sedekah adalah amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sedekah tidak hanya memberikan manfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi. Berikut adalah beberapa manfaat sedekah yang perlu kita ketahui:
1. Membersihkan Harta dan Jiwa
Sedekah dapat membersihkan harta dari hak-hak orang lain yang mungkin belum kita tunaikan.
Sedekah juga dapat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan.
2. Mendatangkan Keberkahan dan Rezeki
Allah SWT berjanji akan melipatgandakan rezeki orang-orang yang bersedekah.
Sedekah dapat membuka pintu rezeki yang tidak terduga.
3. Menghapus Dosa dan Kesalahan
Sedekah dapat menghapus dosa-dosa kecil yang telah kita lakukan.
Sedekah dapat menjadi salah satu jalan untuk memohon ampunan kepada Allah SWT.
4. Menjauhkan dari Bencana dan Musibah
Sedekah dapat menjadi penolak bala atau bencana.
Sedekah dapat melindungi kita dari marabahaya.
5. Menyembuhkan Penyakit
Sedekah dapat menjadi salah satu jalan untuk menyembuhkan penyakit.
Banyak kisah nyata tentang orang-orang yang sembuh dari penyakitnya setelah bersedekah.
6. Menambah Rasa Syukur dan Bahagia
Dengan bersedekah, kita akan lebih bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.
Melihat kebahagiaan orang lain karena sedekah kita, akan menimbulkan rasa bahagia di dalam diri kita.
7. Mempererat Tali Persaudaraan
Sedekah dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama Muslim.
Sedekah dapat menciptakan rasa saling peduli dan berbagi dalam masyarakat.
8. Mendapatkan Naungan di Hari Kiamat
Salah satu golongan yang akan mendapatkan naungan di hari kiamat adalah orang-orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
9. Investasi Akhirat
Sedekah jariyah, seperti wakaf, adalah investasi akhirat yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita telah meninggal dunia.
Sedekah adalah amalan yang sangat mulia dan memiliki banyak manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Mari kita jadikan sedekah sebagai bagian dari gaya hidup kita.
Ayo bersedekah melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta: https://kotayogya.baznas.go.id/sedekah
Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Penulis & Editor: M. Sahal
BERITA20/03/2025 | AdminS
60 Fakir Miskin atau 60 Hari Puasa? Memahami Dilema Kafarat Ramadhan
Ramadhan dikenal sebagai bulan penuh ampunan, rahmat, dan berkah. Namun, di balik kemuliaan bulan ini, terdapat aturan-aturan ketat yang mengatur ibadah puasa, salah satunya mengenai pelanggaran serius yang mengharuskan seseorang menunaikan kafarat Ramadhan. Kafarat ini bukan sekadar denda ringan, melainkan sebuah penebusan dosa dengan konsekuensi sosial dan fisik yang tidak mudah.
Dari sekian bentuk kafarat, dua di antaranya paling dikenal: memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari berturut-turut. Kedua pilihan ini sering menimbulkan dilema bagi banyak Muslim: mana yang harus dipilih? Apakah ada ketentuan tertentu mengenai urutan atau prioritas? Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang dilema kafarat Ramadhan, dasar hukumnya, serta makna di baliknya.
Definisi Kafarat Ramadhan
Secara bahasa, kafarat berasal dari kata kafara yang berarti menutupi atau menghapus. Dalam konteks syariat, kafarat adalah bentuk tebusan yang diwajibkan atas seseorang yang melanggar aturan tertentu sebagai bentuk pertobatan dan kompensasi.
Kafarat Ramadhan secara spesifik berlaku bagi pelanggaran berat di bulan Ramadhan, seperti:
Berhubungan intim di siang hari Ramadhan dengan sengaja.
Makan atau minum secara sengaja tanpa alasan syar’i (meskipun sebagian ulama berbeda pandangan apakah ini wajib kafarat atau tidak).
Dalil dan Landasan Kafarat Ramadhan
Salah satu hadis paling populer yang menjadi dasar kafarat Ramadhan adalah riwayat dari Abu Hurairah:
“Seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku binasa! Aku telah berhubungan dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan.’ Rasulullah menjawab, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Rasul bertanya lagi, ‘Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Rasul bertanya, ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Rasulullah pun memberinya kurma untuk disedekahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini jelas menyebutkan tiga bentuk kafarat secara berurutan:
Memerdekakan budak.
Berpuasa dua bulan berturut-turut.
Memberi makan 60 fakir miskin.
Dalam konteks masa kini, memerdekakan budak tidak lagi relevan, sehingga dua opsi terakhir yang menjadi pilihan utama.
Urutan atau Pilihan Bebas?
Di sinilah muncul dilema. Apakah seorang pelanggar bebas memilih antara memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari? Ataukah ada urutan yang wajib diikuti?
1. Pendapat Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hambali, dan sebagian Maliki berpendapat bahwa kafarat harus dilaksanakan berurutan (tartib). Artinya:
Pilihan pertama: membebaskan budak (sekarang gugur).
Jika tidak mampu, maka berpuasa 60 hari berturut-turut.
Jika tidak mampu juga, baru memberi makan 60 fakir miskin.
Pandangan ini diambil langsung dari redaksi hadis Nabi yang menyebutkan kafarat secara berurutan.
2. Pendapat Mazhab Hanafi dan Sebagian Maliki
Sebaliknya, ulama mazhab Hanafi memandang bahwa kafarat bersifat takhyir (opsional) setelah opsi memerdekakan budak tidak berlaku. Artinya, seseorang bebas memilih antara puasa 60 hari atau memberi makan fakir miskin tanpa harus mengutamakan salah satunya. Alasannya, saat budak tidak ada, maka opsi selanjutnya tidak harus terikat urutan.
Hikmah di Balik Kafarat
Terlepas dari perbedaan pendapat, penting untuk memahami makna yang terkandung dalam kafarat Ramadhan:
1. Puasa 60 Hari: Bentuk Disiplin dan Tobat Fisik
Berpuasa dua bulan berturut-turut adalah bentuk latihan disiplin luar biasa. Ia mengajarkan kesungguhan dalam menebus kesalahan, menumbuhkan rasa sabar, dan menanamkan rasa tanggung jawab atas dosa yang telah dilakukan. Tidak mudah menahan lapar dan dahaga selama dua bulan penuh tanpa terputus.
2. Memberi Makan 60 Fakir Miskin: Rehabilitasi Sosial
Pilihan memberi makan 60 fakir miskin membawa pesan sosial yang kuat. Kesalahan pribadi harus ditebus dengan kebaikan sosial. Ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya berdampak pada hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan masyarakat.
Dilema Kontemporer: Mana yang Lebih Ringan?
Bagi sebagian orang, memberi makan 60 fakir miskin mungkin terlihat lebih ringan karena bisa dilakukan dalam satu waktu dengan membayar sejumlah uang atau menyediakan makanan. Di zaman modern, ada banyak lembaga zakat dan platform digital yang memudahkan penyaluran kafarat ini.
Namun, bagi yang memegang pendapat bahwa kafarat harus urut, maka ia harus berusaha berpuasa 60 hari terlebih dahulu. Jika karena kondisi fisik, usia, atau faktor lain ia tidak mampu, barulah boleh beralih ke opsi memberi makan.
Hitungan Praktis Kafarat: Berapa Biaya Memberi Makan 60 Orang?
Secara teknis, ulama sepakat bahwa ukuran makanan yang diberikan harus setara dengan satu mud atau setengah sha’ (kurang lebih 0,6 kg beras atau makanan pokok per orang). Maka, untuk 60 orang fakir miskin, seorang pelaku pelanggaran harus memberikan makanan kepada seluruhnya, atau memberikan uang senilai makanan tersebut.
Misalnya:
Jika biaya satu porsi makanan layak sekitar Rp30.000,
Maka total kafarat adalah 60 × Rp30.000 = Rp1.800.000.
Tentu angka ini bisa berbeda tergantung wilayah dan standar harga makanan di masing-masing tempat.
Kafarat Ramadhan di Era Digital
Kini, dengan berkembangnya teknologi, kafarat Ramadhan semakin mudah dilaksanakan:
Lembaga zakat resmi seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat menyediakan layanan pembayaran kafarat secara online.
Transparansi penyaluran kafarat kepada fakir miskin lebih terjamin.
Namun, tetap perlu memastikan lembaga tersebut amanah dan terpercaya agar kafarat sah secara syar’i.
Kesimpulan: Kafarat Bukan Sekadar Formalitas
Dilema antara memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari sebenarnya bukan sekadar soal "mana lebih mudah". Di balik dua pilihan ini, ada pesan mendalam tentang pertobatan, kedisiplinan, dan kepedulian sosial.
Bagi yang masih mampu secara fisik, puasa 60 hari menjadi jalan untuk melatih keimanan dan menebus kesalahan secara serius. Bagi yang tidak mampu, opsi memberi makan membawa hikmah bahwa setiap kesalahan pribadi harus diimbangi dengan kebaikan kepada orang lain.
Apa pun pilihan kafaratnya, intinya adalah memperbaiki diri dan tidak mengulangi pelanggaran. Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tapi juga bulan untuk mengasah kesadaran diri, menumbuhkan empati sosial, dan menyempurnakan pertobatan.
Editor : Ibnu
BERITA20/03/2025 | Ibnu
Bagaimana Adab Dalam Bersedekah?
Sedekah merupakan salah satu amalan yang mulia dan sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, supaya sedekah yang kita lakukan bernilai lebih di sisi Allah SWT, terdapat beberapa adab yang perlu diketahui dan dilakukan. Adab ini bukan hanya tentang bagaimana memberikan, namun juga meliputi niat dan sikap kita sebagai pemberi.
Adab-adab tersebut meliputi:
Ikhlas Karena Allah SWT
Adab yang paling utama adalah ikhlas. Niatkan sedekah hanya semata karena Allah SWT, bukan untuk mendapatkan pujian, dilihat oleh orang lain atau pun mendapatkan imbalan dari manusia. Karena dalam hal bersedekah, kita harus menghindari sifat riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin didengar).
Memberikan Yang Terbaik
Dalam bersedekah, kita harus memberikan yang terbaik. Jangan memberikan barang atau uang yang sudah tidak layak. Selain itu, apabila makanan yang disedekahkan harus makanan yang halal dan baik.
Tidak Menyebut Pemberian
Jangan pernah menyebut-sebut pemberian atau mengungkit pemberian yang telah kita niatkan untuk bersedekah. Hal tersebut bisa saja menyinggung hati penerima dan juga mengurangi pahala dalam bersedekah
Memberikan Dengan Lembut dan Sopan
Salah satu sikap yang harus kita lakukan saat bersedekah adalah dengan cara yang lembut dan sopan. Sebab dengan sikap lembut dan sopan kita tidak merendahkan saudara atau orang yang membutuhkan bantuan.
Menjaga Kerahasiaan
Sedekah lebih utama dilakukan secara diam-diam. Kecuali untuk kemaslahatan bersama. Kerahasiaan ini dapat menghindari kita yang bersedekah dari sifat riya’.
Mendahulukan Orang Yang Membutuhkan
Kita harus memprioritaskan orang-orang yang membutuhkan seperti keluarga terdekat, tetangga, atau orang-orang yang terlihat membutuhkan.
Tidak Menyakiti Perasaan Penerima
Jangan sampai kita memberikan sedekah hingga membuat penerima sakit hati. Contohnya memberikan sedekah di khalayak umum sehingga membuat penerima menjadi malu.
Mendoakan Penerima
Doakanlah orang-orang yang telah menerima pemberian yang telah kita sedekahkan agar mereka mendapatkan keberkahan dan kemudahan dalam hidup.
Menerima Dengan Lapang Dada Jika Ditolak
Kita harus menerima dengan lapang dada apabila sedekah kita ditolak. Karena kita juga harus ikhlas terhadap penolakan dan juga menghormati keputusan calon penerima.
Istiqomah Dalam Bersedekah
Sedekah bukan hanya amalan yang sekali dua kali. Kita juga harus bisa istiqomah dalam melakukan sedekah. Sedekah tidak harus banyak tapi harus ikhlas.
Dengan memperhatikan adab-adab bersedekah, semoga amalan ini dapat menambahkan nilai serta pahala dari Allah SWT. Tidak hanya membantu sesama saja, namun juga mendapatkan keberkahan dan mengharapkan ridho-Nya.
Ayo bersedekah melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta: https://kotayogya.baznas.go.id/sedekah
Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Penulis & Editor: M. Sahal
BERITA20/03/2025 | AdminS
Zakat Mal bagi Pengusaha Properti: Ketentuan dan Cara Perhitungannya
Zakat mal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan haul. Bagi pengusaha properti, zakat juga menjadi bagian penting dalam menjaga keberkahan usaha. Namun, masih banyak yang belum memahami bagaimana cara menghitung dan menunaikan zakat mal dari usaha properti. Artikel ini akan membahas ketentuan serta cara perhitungan zakat bagi pengusaha properti.
1. Jenis Properti yang Wajib Dizakati
Tidak semua properti yang dimiliki seseorang wajib dikenakan zakat. Ada beberapa kategori properti yang termasuk dalam perhitungan zakat mal, yaitu:
Properti yang Diperjualbelikan: Jika seseorang memiliki properti yang tujuannya untuk dijual kembali, maka properti ini dikategorikan sebagai barang dagangan dan wajib dizakati sebesar 2,5% dari nilai pasarannya saat mencapai nisab dan haul.
Properti yang Disewakan: Jika properti digunakan untuk disewakan, maka yang wajib dizakati adalah pendapatan bersih dari hasil sewa setelah dikurangi biaya operasional.
Properti Pribadi: Properti yang digunakan sendiri, seperti rumah tempat tinggal, tidak wajib dizakati karena tidak termasuk harta yang berkembang.
Ketentuan Nisab dan Haul dalam Zakat Properti
Agar harta properti wajib dizakati, harus memenuhi syarat nisab dan haul:
Nisab: Nisab zakat mal setara dengan 85 gram emas. Jika total harta properti yang diperjualbelikan atau pendapatan dari properti sewa sudah mencapai nilai tersebut, maka zakat harus dikeluarkan.
Haul: Properti yang diperjualbelikan atau pendapatan dari sewa yang telah dimiliki selama satu tahun penuh wajib dizakati.
Cara Menghitung Zakat Properti
Untuk menghitung zakat mal bagi pengusaha properti, berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan:
Jika properti diperjualbelikan, hitung nilai pasar dari properti yang dimiliki saat haul.
Jika properti disewakan, hitung total pendapatan bersih dari hasil sewa dalam satu tahun.
Kurangi dengan biaya operasional dan hutang yang harus dibayarkan dalam satu tahun.
Jika nilai akhir masih mencapai nisab, maka zakat yang harus dibayarkan adalah 2,5% dari jumlah tersebut.
Bagi pengusaha properti, zakat mal adalah kewajiban yang harus diperhitungkan dengan baik sesuai dengan jenis properti yang dimiliki. Properti yang diperjualbelikan wajib dizakati berdasarkan nilai pasarannya, sementara properti yang disewakan dizakati dari hasil pendapatan bersihnya. Dengan memahami aturan zakat ini, pengusaha properti dapat menjaga keberkahan usahanya serta berkontribusi dalam kesejahteraan sosial.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Zakat Mal bagi Orang yang Memiliki Hutang: Apakah Tetap Wajib?
Zakat mal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul. Namun, banyak orang yang masih bingung apakah mereka tetap wajib membayar zakat jika memiliki hutang. Pertanyaan ini sering muncul karena kondisi finansial seseorang bisa berbeda-beda, dan hutang sering kali menjadi beban yang harus diperhitungkan.
Hutang dan Kewajiban Zakat Mal
Secara umum, seseorang tetap wajib membayar zakat jika hartanya telah mencapai nisab (batas minimum harta yang wajib dizakati) dan telah dimiliki selama satu tahun penuh (haul). Namun, jika seseorang memiliki hutang, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.
Hutang Jangka Pendek vs. Hutang Jangka Panjang
Dalam Islam, hutang dikategorikan menjadi dua jenis utama, yang masing-masing memiliki dampak berbeda terhadap kewajiban zakat:
Hutang Jangka Pendek: Hutang yang harus dibayar dalam waktu dekat atau dalam kurun waktu satu tahun, seperti pinjaman untuk kebutuhan pokok, cicilan kendaraan dalam jangka pendek, atau hutang konsumtif. Jika seseorang memiliki harta yang cukup untuk membayar hutang ini, maka sisa hartanya yang masih memenuhi nisab tetap wajib dizakati.
Hutang Jangka Panjang: Hutang yang pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu panjang, seperti cicilan rumah atau modal usaha yang lunas dalam beberapa tahun. Dalam hal ini, yang diperhitungkan adalah cicilan atau kewajiban yang jatuh tempo dalam satu tahun. Sisa harta yang masih memenuhi nisab tetap wajib dizakati.
Bagaimana Cara Menghitung Zakat bagi yang Memiliki Hutang?
Jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati namun juga memiliki hutang, langkah berikut dapat dilakukan untuk menghitung zakat:
Hitung total harta yang dimiliki (uang tunai, tabungan, emas, investasi, dan aset lain yang termasuk zakat mal).
Kurangi dengan jumlah hutang yang jatuh tempo dalam satu tahun.
Jika setelah dikurangi hutang masih mencapai nisab, maka zakat tetap wajib dikeluarkan sebesar 2,5% dari total harta tersebut.
Memiliki hutang tidak serta-merta membebaskan seseorang dari kewajiban membayar zakat mal. Islam memberikan keringanan bagi orang yang memiliki hutang jangka pendek yang harus segera dilunasi, tetapi untuk hutang jangka panjang, zakat tetap harus dibayarkan jika harta yang dimiliki masih mencapai nisab setelah dikurangi cicilan yang jatuh tempo dalam satu tahun.
Dengan memahami aturan ini, umat Muslim dapat lebih bijak dalam mengelola keuangan dan tetap menunaikan zakat sesuai dengan ketentuan syariah. Zakat tidak hanya membersihkan harta tetapi juga menjadi bentuk kepedulian sosial terhadap sesama yang membutuhkan.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Zakat bagi Perantau: Mengikuti Hukum di Tanah Rantau atau Tanah Asal?
Bagi seorang perantau, salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mereka harus mengikuti hukum zakat di tanah rantau atau di tanah asal. Mengingat zakat merupakan kewajiban yang berkaitan dengan kepemilikan harta, penentuan lokasi pembayaran zakat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Prinsip Dasar Zakat: Berdasarkan Kepemilikan Harta
Zakat dikenakan atas harta yang telah mencapai nisab dan haul, terlepas dari lokasi tempat tinggal seseorang. Dengan demikian, seorang perantau tetap memiliki kewajiban zakat berdasarkan harta yang dimilikinya, baik yang berada di tanah rantau maupun di tanah asal. Islam menekankan bahwa zakat harus dikeluarkan dari harta yang berkembang dan memiliki potensi bertambah.
Zakat Dikeluarkan di Tempat Harta Berada
Dalam kaidah fiqh, terdapat prinsip bahwa zakat sebaiknya dikeluarkan di tempat di mana harta itu berada. Hal ini didasarkan pada tujuan utama zakat, yaitu membantu masyarakat sekitar pemilik harta. Oleh karena itu:
Jika seorang perantau memiliki penghasilan, tabungan, atau investasi di tanah rantau, maka zakat dari harta tersebut sebaiknya dibayarkan di sana.
Jika seorang perantau memiliki tanah atau properti di kampung halaman yang menghasilkan pendapatan, seperti sewa atau hasil pertanian, maka zakat dari aset tersebut lebih utama disalurkan di tanah asal.
Sebagai contoh, jika seseorang merantau ke luar negeri dan seluruh penghasilannya diperoleh di sana, maka lebih baik zakat dikeluarkan di tempat ia bekerja. Namun, jika ia memiliki bisnis di tanah asal yang masih berjalan dan menghasilkan keuntungan, zakat dari bisnis tersebut bisa dikeluarkan di kampung halamannya.
Fleksibilitas dalam Penyaluran Zakat
Islam memberikan keleluasaan dalam penyaluran zakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika di tanah rantau terdapat banyak orang yang membutuhkan bantuan, maka lebih utama menyalurkan zakat di sana. Sebaliknya, jika di tanah asal terdapat lebih banyak masyarakat yang memerlukan, zakat bisa dikirimkan ke sana.
Kesimpulan
Jika harta berada di tanah rantau, zakat dapat dikeluarkan di sana.
Jika harta berada di tanah asal, maka zakat sebaiknya dikeluarkan di tanah asal.
Jika kondisi di tanah rantau lebih membutuhkan, boleh mengeluarkan zakat di sana, meskipun hartanya ada di tanah asal.
Dengan memahami ketentuan ini, perantau dapat menunaikan zakat secara bijak sesuai dengan prinsip syariah serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat yang membutuhkan.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Zakat ke Lembaga atau Langsung, Mana Lebih Baik?
Muzakki (pemberi zakat) dapat menyalurkan zakat langsung kepada mustahik atau melalui lembaga zakat. Kedua cara ini diperbolehkan, tetapi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Menyalurkan zakat langsung memastikan bahwa penerima benar-benar membutuhkan. Namun, ada risiko distribusi yang tidak merata dan kurangnya data yang akurat tentang siapa yang benar-benar berhak.
Di sisi lain, lembaga zakat memiliki sistem pengelolaan yang lebih baik, data mustahik yang lebih luas, serta program pemberdayaan yang dapat membantu mustahik keluar dari kemiskinan. Namun, hal ini tetap memerlukan transparansi agar zakat tersalurkan dengan benar.
Kesimpulannya, jika ingin memastikan zakat diterima langsung oleh mustahik, memberikan secara langsung bisa menjadi pilihan. Namun, jika ingin distribusi lebih merata dan dikelola dengan baik, membayar zakat melalui lembaga terpercaya lebih dianjurkan.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
Penulis: Saffanatussa'idiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Zakat untuk Korban Bencana, Bolehkah?
Korban bencana sering kali kehilangan harta benda dan sumber penghidupan. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan: bolehkah zakat digunakan untuk membantu mereka?
Zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan penerima (mustahik), termasuk fakir, miskin, dan gharim (orang berutang). Jika korban bencana termasuk dalam kategori ini, maka mereka berhak menerima zakat.
Namun, jika zakat digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan zakat. Untuk keperluan tersebut, lebih tepat menggunakan dana infak atau sedekah.
Kesimpulannya, zakat dapat diberikan kepada korban bencana yang termasuk mustahik, tetapi untuk kebutuhan umum lebih baik menggunakan dana lain seperti infak dan sedekah.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
Penulis: Saffanatussa'idiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Mualaf Kaya, Masih Berhak Zakat?
Mualaf termasuk salah satu penerima zakat sesuai Surah At-Taubah ayat 60. Zakat diberikan kepada mereka untuk menguatkan iman dan membantu dalam proses adaptasi ke dalam Islam. Namun, jika seorang mualaf sudah kaya, apakah masih berhak menerima zakat?
Secara umum, zakat diberikan kepada mereka yang membutuhkan, termasuk fakir, miskin, dan mualaf yang mengalami kesulitan. Jika seorang mualaf memiliki kekayaan yang cukup dan tidak menghadapi ancaman terhadap keislamannya, maka ia tidak lagi termasuk dalam kategori mustahik.
Namun, dalam beberapa kasus, seorang mualaf kaya tetap bisa menerima zakat jika ia menghadapi tekanan sosial, ancaman, atau membutuhkan dukungan untuk memperkokoh keislamannya. Para ulama menyebutkan bahwa pemberian zakat kepada mualaf juga bisa bersifat strategis, terutama jika dapat memperkuat Islam di komunitasnya.
Kesimpulannya, jika mualaf sudah mapan dan tidak dalam kondisi sulit, maka ia tidak lagi berhak menerima zakat. Zakat lebih baik diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan.
=====================
*Tunaikan zakat/infaq, melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta. https://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Editor: Ummi Kiftiyah
Penulis: Saffanatussa'idiyah
BERITA20/03/2025 | admin
Jenis-Jenis Sedekah
Sedekah menjadi salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Sedekah tidak hanya sebatas memberikan harta ataupun benda. Bisa dengan perilaku dan juga tenaga. Sedekah sendiri secara garis besar bisa dibagi menjadi dua jenis, yakni sedekah wajib dan sedekah sunnah.
Sedekah Wajib (Zakat)
Zakat merupakan sedekah wajib yang harus dilakukan oleh umat muslim. Setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat untuk berzakat. Zakat menjadi salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Zakat berperan penting dalam pemerataan kesejahteraan umat Islam. Zakat sendiri terbagi menjadi beberapa jenis:
Zakat Mal: Dihitung berdasarkan harta benda seperti emas, perak, uang, hasil pertanian dan perniagaan.
Zakat Fitrah: Zakat yang wajib dikeluarkan ketika Ramadhan, bisa berupa makanan pokok, beras atau yang setara sebagai cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa selama bulan puasa.
Sedekah Sunnah
Sedekah sunnah menjadi sedekah yang dianjurkan, dianjurkan dalam artian tidak wajib dilakukan namun sebisa mungkin dikerjakan. Sedekah sunnah sendiri memiliki berbagai macam, antara lain:
Infaq: Sedekah yang diberikan berupa harta benda secara sukarela. Infaq tidak ada batasan nilai dan jumlah.
Wakaf: Pemberian harta benda yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti membangun masjid, sekolah maupun rumah sakit.
Sedekah Jariyah: Merupakan sedekah yang pahalanya tak terputus meskipun sudah meninggal, seperti wakaf tanah untuk masjid, memberikan ilmu yang baik dan bermanfaat.
Sedekah Non-Materi: Sedekah yang tidak menggunakan harta atau benda:
Memberikan senyum kepada orang lain,
Membantu orang yang tengah mengalami kesulitan,
Memberikan nasihat yang baik,
Menyebarkan ilmu yang baik dan bermanfaat,
Meluangkan waktu dan menyalurkan tenaga untuk membantu sesama.
Setiap sedekah memiliki keutamaannya masing-masing. Zakat menjadi rukun Islam dan diwajibkan sebagai salah satu cara dalam mensejahterakan umat, sedangkan sedekah sunnah menjadi sarana penunjang untuk kita meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Sedekah menjadi amalan yang mulia dan bersedekah tidak akan membuat harta kita berkurang. Bahkan dengan bersedekah kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga membantu diri sendiri.
Ayo bersedekah melalui Kantor Digital BAZNAS Kota Yogyakarta: https://kotayogya.baznas.go.id/sedekah
Kunjungi juga website: https://baznas.jogjakota.go.id
Penulis & Editor: M. Sahal
BERITA20/03/2025 | AdminS

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS
Info Rekening Zakat

